Saturday, November 7, 2015
Pagi Hambar?
Aku melihat detik bergulir. Menyaksikanmu
tenggelam larut ke dasar lautan, lautan itu kesedihan. Aku coba merengkuhmu hay
perempuan. Dengan sedikit kemampuan yang ku punya, mencoba membawamu kembali
terbang. Tapi lihatlah, aku tenggelam sedang kau belajar berenang. Perlahan kau
menuju permukaan, berharap genggaman lain datang? Bukan aku. Aku jauh di dasar,
pantaskah membawamu kembali terbang?
Jika nanti aku merangkak menghampirimu, antusias kah kau tuk memuji usahaku? Atau justru mengacuhkanku? Tanya seperti gelombang laut yang semakin menyudutkan sampai ke dasar lautan. Aku lupa cara bernafas. Yang kau sudah meghirup udara segar bersamanya, mendekap erat tubuhnya tak ingin waktu semakin berpaling. Karena kau sadar, engkau dan dia di jalan yang berbeda. Tapi mampukah kau sedikit melihatku? Karena jalan kedepan kita satu angin. Dapatkah kau memercayaiku tuk mengemudikan kendali perahu reot itu? Mencari cara jalan untuk pulang. Aku mengerti kamu masih dalam satu ikatan dengannya. Matamu mengatakannya tanpa sepatah kata pun dari bibirmu. Tak apa. Salahkah aku jika ingin melihatmu bahagia? Mungkin salahkah jika aku senang berada di dekatmu? Mendengarmu tertawa adalah hujan di keringnya rasa ini. Dan melihatmu tersenyum adalah warna diantara kelabu nya hidup ini. Sudah cukup. Tentu aku harus menahan semua itu. Aku terkepung oleh keadaan. Dengan kemampuan yang terbatas aku menghela nafas. Belum lagi satu dari sahabatku bercerita tentang rasa yang sama denganku. Aku tersentak. Selama ini dia menyembunyikannya dengan senyum tipis. Aku dapat merasakannya walau hanya sekejap bayang. Itu sebabmya kenapa kau menyebutku angkuh.
Jika nanti aku merangkak menghampirimu, antusias kah kau tuk memuji usahaku? Atau justru mengacuhkanku? Tanya seperti gelombang laut yang semakin menyudutkan sampai ke dasar lautan. Aku lupa cara bernafas. Yang kau sudah meghirup udara segar bersamanya, mendekap erat tubuhnya tak ingin waktu semakin berpaling. Karena kau sadar, engkau dan dia di jalan yang berbeda. Tapi mampukah kau sedikit melihatku? Karena jalan kedepan kita satu angin. Dapatkah kau memercayaiku tuk mengemudikan kendali perahu reot itu? Mencari cara jalan untuk pulang. Aku mengerti kamu masih dalam satu ikatan dengannya. Matamu mengatakannya tanpa sepatah kata pun dari bibirmu. Tak apa. Salahkah aku jika ingin melihatmu bahagia? Mungkin salahkah jika aku senang berada di dekatmu? Mendengarmu tertawa adalah hujan di keringnya rasa ini. Dan melihatmu tersenyum adalah warna diantara kelabu nya hidup ini. Sudah cukup. Tentu aku harus menahan semua itu. Aku terkepung oleh keadaan. Dengan kemampuan yang terbatas aku menghela nafas. Belum lagi satu dari sahabatku bercerita tentang rasa yang sama denganku. Aku tersentak. Selama ini dia menyembunyikannya dengan senyum tipis. Aku dapat merasakannya walau hanya sekejap bayang. Itu sebabmya kenapa kau menyebutku angkuh.
Andai sejak awal waktu tidak bergulir, aku
berharap seperti itu. Tapi gula ini sudah larut dalam secangkir teh yang kubuat
pagi ini. Bisakah teh yang sudah manis itu kembali hambar seperti sebelumnya?
Aku tidak ingin meraciknya lagi. Secangkir teh yang sudah larut manis itu biar
kuberikan kepada sahabatku. Biarkan aku membuatnya secangkir lagi tanpa ada
rasa sedikitpun. Mungkin teh hangat cocok untuk pagi ini. Untukmu, tolong
jangan larutkan senyummu lagi di pagi yang baru ini, jangan buat ini menjadi
manis kembali. Selesai.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Welcome
Manusia akan mati, tapi karya nya akan abadi. So gausah malu berkarya!! Belum tentu mereka bisa.
About Me
Powered by Blogger.
1 comments:
Astaga Daniiiiiiiiiii wkwkwkwk cadas laaaah. Teruskan!
Post a Comment